Mengapa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2022 kembali Turun?

Selasa, 31 Januari 2023, Transparency International Indonesia (TII) mengumumkan Corruption Perception Index/Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2022. IPK adalah pengukuran persepsi korupsi sektor publik suatu negara yang dilakukan oleh Transparency International setiap tahunnya. Hasil survei dituangkan dalam skor dengan skala 1-100, dimana skor yang semakin tinggi menunjukkan persepsi semakin bersih suatu negara dari korupsi. Sebaliknya, skor yang semakin rendah menunjukkan persepsi semakin korup suatu negara. Lantas, berapa skor IPK Indonesia tahun 2022? 

IPK Indonesia tahun 2022 berada di skor 34/100 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Skor tersebut turun 4 poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38/100. TII menyimpulkan kondisi ini menunjukkan adanya kegagalan strategi dan program Pemerintah Indonesia untuk mengendalikan korupsi. Pada tahun 2022, Indonesia merupakan tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Internasional Presidensi G20 yang membahas komitmen dan menghasilkan berbagai dokumen strategis, dengan salah satu topik pembahasannya terkait dengan pemberantasan korupsi (Anti Corruption Working Group/ACWG), skor IPK 2022 menunjukkan tantangan bagi Indonesia untuk dapat memenuhi komitmen anti korupsi yang dihasilkan dalam forum ACWG G20 tahun lalu (Baca juga artikel SustaIN tentang ACWG 2022 pada link berikut ini: https://bit.ly/G20-ACWG2022).

Kilas balik: Apa sajakah yang terjadi pada tahun 2022?

Berdasarkan laporan penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama tahun 2022 ada 120 kasus yang ditangani dengan total terpidana korupsi sebanyak 149 orang. Kasus korupsi berupa suap mendominasi pada tahun 2022 dengan jumlah 100 kasus, antara lain: 

  1. Kasus korupsi mantan Wali Kota Yogyakarta (HS) terkait suap (penerima) pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebuah apartemen;
  2. Kasus korupsi Rektor Universitas Lampung, (KRM), terkait suap penerimaan Mahasiswa Baru;
  3. Kasus korupsi terkait suap penanganan perkara di Mahkamah Agung yang melibatkan sampai dengan 14 tersangka;
  4. Kasus korupsi terkait suap pemalsuan laporan keuangan oleh mantan Bupati Bogor (AY);
  5. Kasus korupsi suap pengelolaan dana hibah oleh mantan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur (STS);
  6. Kasus korupsi suap dan gratifikasi oleh mantan Gubernur Papua, (LE).

Skor setiap negara merupakan kombinasi dari setidaknya 3 (tiga) sumber data yang diambil dari 13 (tiga belas) survei dan penilaian korupsi yang berbeda. Pada tahun 2022, TII melakukan pengukuran IPK dengan menggunakan 8 (delapan) sumber data, yaitu: (1) World Justice Project – Rule of Law Index; (2) Political and Economic Risk Consultancy; (3) Political Risk Service; (4) Varieties of Democracy Project; (5) Bertelsmann Stiftung Transformation Index; (6) Economist Intelligence Unit – Country Risk Service; (7) IMD World Competitiveness Yearbook; dan (8) Global Insight Country Risk Ratings. Sumber data tersebut mengukur tingkat korupsi terkait korupsi, konflik, dan keamanan

World Justice Project (WJP) mengukur skor indeks 140 negara, yang salah satunya adalah Indonesia. Indonesia menduduki peringkat 64 dari 140 negara dengan skor indeks 0,53. Semakin menduduki peringkat dengan angka yang lebih kecil, maka penilaian terhadap suatu negara dianggap semakin baik. Berikut merupakan 8 (delapan) faktor utama yang diukur oleh WJP: 

  1. Faktor 1: Kendala dalam kekuasaan pemerintah

Faktor ini mengukur sejauh mana pemerintah terikat oleh hukum, baik secara konstitusional maupun institusional. Kekuasaan pemerintah perlu dibatasi dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Indeks ini juga mencakup pengawasan non-pemerintah, seperti pers yang bebas dan independen. Indonesia menduduki peringkat 33/140 untuk faktor 1. 

  1. Faktor 2: Ketiadaan akan korupsi

Faktor ini mengukur ketiadaan korupsi dalam pemerintahan dengan mempertimbangkan 3 (tiga) bentuk korupsi: (1) penyuapan; (2) pengaruh yang tidak wajar dari kepentingan publik atau swasta; dan (3) penyalahgunaan dana publik atau sumber daya lainnya. Ketiga bentuk korupsi ini diperiksa sehubungan dengan pejabat pemerintah di lingkup eksekutif, yudikatif, legislatif, serta Aparat Penegak Hukum (APH). Indonesia masih menduduki peringkat 94/140 untuk faktor 2. 

  1. Faktor 3: Pemerintahan yang terbuka

Faktor ini keterbukaan pemerintah dalam berbagi informasi, sejauh mana undang-undang dan informasi terkait hak-hak masyarakat dipublikasikan, menyediakan tools untuk masyarakat meminta transparansi dan pertanggungjawaban dari pemerintah, dan melakukan evaluasi atas kualitas informasi yang diberikan oleh pemerintah. Indonesia menduduki peringkat 56/140 untuk faktor 3. 

  1. Faktor 4: Hak-hak dasar (fundamental rights)

Faktor ini mengukur sejauh mana pemerintah patuh terhadap aturan nasional maupun internasional terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya: United Nations Universal Declaration of Human Rights. Indonesia menduduki peringkat 87/140 untuk faktor ini. 

  1. Faktor 5: Ketertiban dan keamanan

Faktor ini mengukur seberapa baik suatu masyarakat menjamin keamanan masyarakat dan properti. Indonesia menduduki peringkat 78/140 untuk faktor ini. 

  1. Faktor 6: Penegakan peraturan

Faktor ini mengukur sejauh mana peraturan diterapkan dan ditegakkan secara adil dan efektif. Indonesia menduduki peringkat 47/14 untuk faktor ini. 

  1. Faktor 7: Peradilan perdata

Faktor ini mengukur sejauh mana masyarakat dapat mendapatkan fasilitas untuk menyelesaikan keluhan secara efektif melalui sistem peradilan yang dapat diakses secara terjangkau, dan bebas dari diskriminasi, korupsi, dan pengaruh yang tidak semestinya. Indonesia menduduki peringkat 93/140 untuk faktor ini. 

  1. Faktor 8: Peradilan pidana

Faktor ini mengevaluasi sistem peradilan pidana suatu negara. Indonesia menduduki peringkat 88/140 untuk faktor ini. 

Berdasarkan paparan dari Wawan Suyatmiko (Deputi Program TII) menjelaskan, terdapat 3 (tiga) indikator yang berpengaruh terhadap turunnya IPK 2022, diantaranya:

  1. Indikator Ekonomi

Paket kebijakan ekonomi Indonesia yang menciptakan debirokrasi, deregulasi, dan desentralisasi, menjadi tantangan besar. Tantangan besar tersebut terjadi antara progresifitas perusahaan dalam menerapkan sistem antikorupsi dengan kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi, perilakunya akan mengikuti negara tersebut. Bagi negara dengan tipe development countries, cara memilih investor yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti apa, standar ekonomi tinggi atau yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

  1. Indikator Politik

Skor Political Risk Service Indonesia menurun 13 poin, artinya para pelaku usaha Indonesia bukan lagi mengalami risiko untung rugi, namun risiko politik karena para pelaku usaha bersinggungan dengan pejabat publik. Korupsi politik masih marak ditemukan. Jenis korupsi suap, gratifikasi hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik dan pelaku usaha masih lazim terjadi.

  1. Indikator Penegakan Hukum Anti Korupsi

Meskipun World Justice Project – Rule of Law Index Indonesia naik 1 poin, indikator penegakan hukum anti korupsi terbukti belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masih ditemukannya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum.

TII menganalisis bahwa korupsi membuat respon terhadap kejahatan jauh lebih sulit, semakin tinggi skor persepsi korupsi, semakin efektif merespon terhadap kejahatan terorganisir seperti Narkotika, Terorisme. Di sisi yang lain, negara dengan skor IPK yang rendah, upaya mencegah kejahatan terorganisir menjadi sulit. TII mengestimasi pada tahun 2023-2024, Indonesia akan menghadapi tahun politik atau pemilu sehingga menyarankan strategi pemberantasan korupsi sebagai  berikut:

Demikian penjelasan terkait skor IPK Indonesia beserta dengan kilas balik yang menjadi faktor menurunnya IPK 2022. Sudah sepatutnya, seluruh pihak menjadikan kondisi ini sebagai pembelajaran agar lebih proaktif untuk meningkatkan kesadaran dan mengimplementasikan segala instruksi, peraturan, dan program yang telah direncanakan sedemikian rupa demi Indonesia yang lebih baik. Tidak hanya diperkuat dalam upaya pencegahan, namun juga bagaimana setiap lembaga/organisasi merespon dan menindaklanjuti agar para koruptor dan/atau pihak yang tidak bertanggung jawab merasakan “efek jera” agar tidak terjadi lagi kesalahan yang sama di kemudian hari. Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur – hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati. (FES/WA/DSS). 

Yuk Sustainers, baca artikel lengkap dan lainnya terkait antikorupsi dan tata kelola yang baik (good governance) dengan mengunjungi website kami di sustain.id. 

#Indonesia #CPI #CPI2022 #IPK2022 #CPI2022Turun #Korupsi #Integritas #CegahKorupsi #Suap #Asia #TII

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Translate »
Open chat
Halo SustaIN!

Mohon info terkait jasa apa saja yang ditawarkan SustaIN?