Tanggal 17 Juli diperingati sebagai Hari Keadilan Internasional (International Justice Day) untuk memaknai pentingnya menegakkan keadilan bagi setiap korban kejahatan, termasuk kejahatan kemanusiaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi PBB anti korupsi (United Nation Against Corruption, 2003) korupsi merupakan kejahatan yang mengancam keadilan, HAM dan kehidupan masyarakat.
Proses penjatuhan pidana dan pemidanaan bagi koruptor menjadi salah satu pembahasan menarik dalam pemberantasan korupsi. Perdebatan yang terjadi ialah mengenai permasalahan hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) yang dianggap terlalu ringan. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga anti korupsi seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan peneliti lainnya, ditemukan perbedaan hukuman yang cukup signifikan atau biasa disebut disparitas.
Menurut ICW, di dalam penelitiannya mengenai Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara Tindak Pidana Korupsi (2014), disparitas menunjukkan adanya perbedaan besaran hukuman yang dijatuhkan pengadilan dalam perkara-perkara yang memiliki karakteristik yang sama. Secara istilah, disparitas terdiri atas dua kata (dis-parity), parity atau paritas adalah kesetaraan hukuman antara kejahatan serupa dalam kondisi serupa. Seorang Filsuf Hukum Yunani, Cesare Beccaria mengatakan bahwa konsep paritas tidak dapat dipisahkan dari prinsip proporsionalitas, di mana diharapkan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan, proporsional dengan kejahatan yang dilakukannya.
Disparitas hukuman pidana menjadi suatu permasalahan apabila rentang perbedaan hukuman yang dijatuhkan antara perkara yang sama sedemikian besar, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakadilan. Pada tahun 2021, ICW memberikan data tentang disparitas tuntutan penjara bagi koruptor, yang disajikan dalam tabel di bawah ini:
No. | No Perkara | Nama Terdakwa | Pekerjaan | Kerugian Negara/Suap | Tuntutan Penjara | Pasal |
1. | 26/Pid.Sus-TPK/2020/PN Bjm | Mahyudiansyah | Kepala Dinas Perdagangan Kab. Kotabaru | Rp 2,2 miliar | 1 tahun 6 bulan | Pasal 3 |
2. | 25/Pid.Sus-TPK/2020/PN Bna | Amri Yanto | Bendahara Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Kab Aceh Tengah | Rp 398 juta | 3 tahun 6 bulan | Pasal 3 |
3. | 36/Pid.Sus-TPK/2021/PN Bdg | Junaedi | Dirut PD Sindangkasih Multi Usaha | Rp 1,4 miliar | 2 tahun | Pasal 3 |
4. | 16/Pid.Sus-TPK/2021/PN Mdn | Asran Siregar | Kepala Cabang PDAM Tirtanadi Cabang Deli Serdang | Rp 667 juta | 3 tahun | Pasal 3 |
Sumber: Indonesia Corruption Watch, Laporan Pemantauan Tren Vonis 2021
Data di atas menunjukkan masih terjadinya disparitas pada tuntutan penjara bagi koruptor yang penjatuhan hukumannya didasarkan oleh pasal dan undang-undang tipikor yang sama. Dari data di atas, masyarakat dapat melihat dan menilai sejauh mana perspektif aparat penegak hukum memandang suatu kejahatan. Jika dilihat secara kasat mata, ketidakadilan menjadi aspek pertama yang dinilai oleh masyarakat. Lalu bagaimanakah konsep keadilan yang menjadi tolak ukur proses penjatuhan pidana bagi koruptor?
Aristoteles (384 SM) mengartikan adil sebagai segala sesuatu yang berdasarkan undang-undang atau sesuai dengan hukum (lawful) dan segala sesuatu yang adil, bijaksana, dan jujur (fair). Sehingga orang yang dikatakan adil adalah orang yang melakukan sesuatu berdasarkan hukum (undang-undang) dan bertindak adil bijaksana, dan jujur.
Lebih lanjut, menurut Aristoteles, Keadilan terbagi menjadi dua macam, Keadilan Umum (General Justice) dan Keadilan Khusus (Particular Justice). Keadilan Umum adalah keadilan yang oleh karena seseorang berhenti melakukan hal yang bersalah kepada orang lain dalam masyarakat. Sedangkan, Keadilan Khusus terkait dengan distribusi dari apa yang diterima oleh anggota masyarakat yang meliputi dua hal yaitu keuntungan (benefit) dan beban (burden). Apabila seseorang mengambil lebih banyak jatah keuntungannya dan menghindari jatah bebannya, maka disitu telah terjadi suatu ketidak adilan.
Penuntutan dan penjatuhan hukuman kepada para pelaku tindak pidana korupsi dilihat dari aspek keadilan khusus masih menunjukkan suatu ketidakadilan karena hukuman kepada pelaku belum sebanding dengan kerugian negara yang disebabkannya. Menurut Adi Andojo Soetjipto (Hakim Agung periode 1981-1996), proses penjatuhan pidana dan pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistem moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis terhadap perkembangan masyarakat pada masa tertentu sehingga perlu bagi hakim untuk mencapai suatu keserasian dalam pertimbangan yang menghasilkan suatu kesamaan dalam pemidanaan. Kesamaan tidak berarti bahwa semua keputusan harus sama persis akan tetapi memiliki struktur yang jelas dalam penjatuhannya.
Sustainers, untuk mengatasi adanya disparitas hukuman pidana terhadap koruptor, Mahkamah Agung telah membuat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020. Perma ini mengatur tentang pedoman pemidanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perma ini memberikan penjelasan rumusan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor dengan menetapkan dan mengkualifikasikan kategori kerugian negara serta kerugian ekonomi negara, dan skala minimal dan maksimalnya. Perma ini diharapkan dapat mewujudkan perlakuan yang sama bagi para koruptor, keseragaman pendapat aparat penegak hukum, serta keseragaman pelaksanaan undang-undang yang bertujuan untuk pencapaian keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tentunya kita sebagai masyarakat sangat berharap agar keadilan dapat ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Fiat Justitia Ruat Caelum ! (FES/DSS)
#disparitas#hukuman#korupsi#koruptor#keadilan