Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma No. 13/2016) merupakan babak baru dari penegakan hukum tindak pidana korporasi di Indonesia. Perma ini memberikan jawaban atas keragu-raguan para penegak hukum dalam menjerat dan meminta pertanggungawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana antara lain: dalam menentukan batasan antara pertanggungjawaban pelaku orang secara individu dengan orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi (pelaku korporasi), proses pembuktian serta hukum acara pemidanaan korporasi. Sampai saat ini, setidaknya ada lima korporasi yang dimintakan pertanggungjawaban dalam kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang yakni:
1. PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW)
PT Giri Jaladhi Wana (PT GJW) merupakan korporasi pertama yang dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan Pasar Sentra Antasari, Banjarmasin dan dikenakan sanksi pidana denda sebesar Rp 1,3 Miliar dan pidana tambahan berupa penutupan sementara semenjak pertengahan tahun 2012. Penyidikan perkara ini ditangani oleh Kejati Kalimantan Selatan dan Kejaksaan Negeri Banjarmasin yang kemudian disidangkan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin.
2. PT Duta Graha Indah (DGI) atau PT Nusa Konstruski Enjiniring (NKE)
Pada November 2017, Pengadilan Tipikor memutuskan PT Duta Graha Indah (DGI) yang telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruski Enjiniring (NKE) untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 14,4 Milyar dalam kasus korupsi dengan terpidana Dudung Purwadi (Dirut PT DGI) terkait pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayanan TA 2009-2010. PT DGI atau PT NKE disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penetapan PT DGI sebagai tersangka korupsi ini merupakan yang pertama kalinya bagi KPK dalam menjerat korporasi sebagai pelaku korupsi.
3. PT Offistarindo Adhiprima (OAP)
Pada bulan Juli 2017, PT Offistarindo Adhiprima (OAP) ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dalam kasus korupsi pengadaan Uninterruptible Power Suply (UPS) bagi sekolah-sekolah di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat dalam APBD Perubahan DKI Jakarta Tahun 2014. Dari kasus pengadaan UPS ini terjadi kerugian negara senilai Rp. 130 miliar, dimana sebesar Rp. 61 miliar masuk ke PT Offistarindo Adhiprima. Dalam kasus ini, PT OAP disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. PT Nindya Karya (NK) dan PT Tuah Sejati (TS)
Pada bulan April 2018, KPK menetapkan PT Nindya Karya (NK) dan PT Tuah Sejati (TS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pelaksanaan pembangunan Dermaga Bongkar pada kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Aceh sebesar Rp 793 miliar dari APBN tahun 2006-2011. PT NK dan PT TS diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 313 miliar. Kedua tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini sekaligus menegaskan bahwa BUMN merupakan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana.
5. PT Putra Ramadhan (Tradha)
Selain kasus-kasus korupsi, penegak hukum juga telah mulai menjerat korporasi sebagai pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pada tanggal 18 Mei 2018, KPK menetapkan PT Putra Ramadhan (PT Tradha) sebagai tersangka kasus tindak pidana pencucian dengan dugaan bahwa dalam kurun 2016–2017, PT Tradha yang diduga dikendalikan oleh Bupati Kebumen Periode 2016- 2021 (M Yahya Fuad), memenangkan sejumlah proyek di Kabupaten Kebumen dan menerima sejumlah dana dari para kontraktor. KPK menduga uang-uang yang diterima tersebut telah dicampur dengan sumber uang lainnya dalam pencatatan keuangan perusahaan dan memberikan manfaat baik bagi perusahaan maupun bagi M Yahya Fuad yang juga telah ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain ancaman hukuman denda dan uang pengganti, PT Tradha juga terancam untuk ditutup sementara atau selamanya atau pengambilalihan perusahaan oleh negara.
Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa Korporasi harus bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya walaupun perbuatan itu diwakili oleh orang yang atas hubungan kerja atau hubungan lain melakukan perbuatan pidana tersebut untuk dan atas nama korporasi. Sanksi hukum yang dikenakan kepada Korporasi tidak hanya berupa denda dan uang pengganti, namun juga dapat berupa penutupan dan pengambilalihan perusahaan yang tentunya secara bisnis akan sangat berdampak ekonomi bagi Korporasi termasuk dampak reputasi yang memburuk. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Korporasi untuk segera melakukan langkah-langkah pencegahan dan memastikan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku guna menghindari tindak pidana.
NH/DSS