Pada tanggal 31 Januari 2018, SustaIN menghadiri diskusi publik dengan tajuk “Membincang Delik Korupsi Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP)” yang dilaksanakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdatul Ulama (Lakpesdam PBNU) dalam rangka memperingati Harlah (Hari Lahir) yang ke 92 Nahdatul Ulama,
Diskusi publik yang diadakan di Gedung PBNU Jakarta Pusat ini menghadirkan 4 Pembicara diantaranya H. Arsul Sani, S.H. MSi (Komisi III DPR RI), Robikin Emhas, SH. MH (Ketua PBNU Bidang Hukum), Hifdzil Alim, SH. MH (Peneliti Pusat Anti Korupsi UGM yang juga merupakan Desk Anti Korupsi Lakpesdam PBNU) dan Budi Santoso, SE. Ak. Mfor. Accy. CA. CFE (Association of Certified Fraud Examiners).
Pada paparan awal, Robikin Emhas menekankan kepada pemerintah bahwa pengaturan delik korupsi dalam RUU KUHP tidak boleh menghilangkan substansi bahwa korupsi adalah extraordinary crime dan kewenangan KPK tidak boleh diperlemah. Sudut pandang lain disampaikan oleh Hifdzil Alim, SH. MH yang pada intinya menekankan dua hal yang harus diperhatikan oleh pemegang kepentingan dalam perumusan RUU KUHP. Pertama, jika politik hukum Indonesia memilih untuk melakukan kodifikasi hukum pidana Indonesia, harus dapat dipastikan RUU KUHP menjadi solusi dari stagnansi pengaturan yang ada saat ini. Selanjutnya, harus dipastikan pengaturan yang baru tidak akan mematikan penegakan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh KPK selama ini. Tidak jauh berbeda dengan pandangan Hifdzil terkait stagnansi pengaturan tindak pidana korupsi di Indonesia, Budi Santoso, seorang praktisi yang menangani Fraud di sektor swasta juga menyatakan Indonesia sangat perlu memperluas scope (cakupan) pengaturan korupsinya, terutama penegakan hukum atas korupsi di sektor swasta agar terwujud kompetisi bisnis yang sehat.
Menanggapi berbagai pandangan oleh tiga pembicara sebelumnya, Arsul Sani selaku pemegang kepentingan dalam perumusan RUU KUHP memaparkan beberapa hal penting perihal korupsi dalam RUU KUHP.
Kodifikasi Terbuka
Menurut Arsul Sani, DPR pada akhirnya tidak meninggalkan prinsip kodifikasi akan tetapi tidak dalam terma kodifikasi tertutup, melainkan kodifikasi terbuka. Sehingga, wajah hukum pidana Indonesia kedepan akan tetap terbuka pada Undang-Undang Sektoral. Dalam RUU KUHP akan dibuat BAB tentang Tindak Pidana Khusus dimana bab inilah yang akan menjadi bridging element antara KUHP dan Undang-Undang Sektoral. Seperti misalnya, dalam hal korupsi, KUHP hanya akan mengatur core crime saja yakni Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selebihnya tetap mengacu pada Undang-Undang yang sudah ada.
RUU KUHP Tidak Berbicara Tentang Kewenangan Penanganan
Arsul Sani menegaskan KUHP hanya mengatur hukum materiel saja, tidak mengatur hukum acaranya dan kewenangan kelembagaan. Terkait kewenangan lembaga, harusnya diatur dalam Revisi UU Tindak Pidana Korupsi yang sekarang atau dalam RUU KUHAP.
Delik Korupsi dalam RUU KUHP
Arsul Sani membenarkan adanya adopsi hukum international (UNCAC ) dalam pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, yakni pengaturan tentang Memperdagangkan pengaruh (Trading in Influence), penyuapan di sektor swasta, memperkaya secara tidak Sah (Illicit Enrichment), Penyuapan Pejabat Publik Asing dan pejabat publik organisasi Internasional.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam tersebut menjawab berbagai pertanyaan yang muncul selama ini, pula memberikan wawasan baru tentang pengaturan delik korupsi dalam RUU KUHP. Selain itu diskusi ini juga memberikan gambaran umum akan masa depan wajah hukum pidana khususnya tindak pidana korupsi di Indonesia.
(NH/DSS)