Kasus pertama Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020 oleh Presiden Joko Widodo. Sejak saat itu, jumlah orang yang terjangkit virus ini di Indonesia terus meningkat serta meluas penyebarannya. Dilansir dari CNN Indonesia, hingga tanggal 5 April 2020 tercatat ada 2.273 orang yang positif, 198 orang meninggal, dan 164 orang sembuh. Tanggal 11 Maret 2020, World Heath Organization (WHO) telah menetapkan status Covid-19 ini sebagai pandemi global. Menanggapi sikap WHO tersebut, pada tanggal 15 Maret 2020, Indonesia menetapkan status kejadian ini sebagai bencana nasional non-alam dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019.
Setelah ditetapkan sebagai bencana nasional, berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk meminimalisasi penyebaran virus Corona ini. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah antara lain mengampanyekan physical distancing (menjaga jarak fisik antar manusia), mengimbau untuk bekerja dari rumah atau work from home, membatasi jumlah armada transportasi publik, mengimbau agak tidak mudik, dan sebagainya.
Reaksi masyarakat terhadap keputusan pemerintah ini pun bermacam-macam. Selain setuju dan tidak setuju, ada sebagian masyarakat yang menjadi panik dan sempat melakukan panic buying, khususnya untuk produk makanan instan serta produk kesehatan seperti masker dan hand sanitizer. Dikutip dari Tirto.com, pembelian serentak dalam jumlah besar tersebut membuat stok barang menjadi langka sehingga harga barang pun melonjak tinggi.
Bagi sebagian orang, kondisi pasar ini justru dilihat sebagai peluang bisnis yang menggiurkan. Mereka secara sengaja memborong produk-produk yang sedang dibutuhkan masyarakat khususnya masker, hand sanitizer, dan baju APD (alat pelindung diri). Barang-barang ini akan mereka jual lagi dengan harga yang jauh lebih tinggi untuk mendapatkan keuntungan berlipat. Seperti yang diberitakan oleh Tempo.com, perilaku ini mengakibatkan para tenaga medis yang ada di garis paling depan dalam memerangi pandemi ini pun kekurangan perlengkapan yang dibutuhkan.
Apakah hal tersebut sah-sah saja? Jika tidak, bagaimana pemerintah meregulasinya? Kemudian pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Indonesia akan menambah anggaraan sebesar 405,1 triliun Rupiah untuk mengatasi bencana nasional ini. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk sektor medis, subsidi listrik, stabilitas ekonomi, ketahanan pangan, jaminan sosial, dan sebagainya. Bagaimana pemerintah mengawasi distribusi anggaran tersebut sehingga penggunaannya tepat sasaran? Dan apa hukuman bagi mereka yang nekad mengorupsi dana bencana ini?
Untuk menjamin ketersediaan masker, antiseptik, dan APD dalam negeri, pada tanggal 18 Maret 2020, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 23 Tahun 2020. Isi peraturan tersebut adalah menghentikan kegiatan ekspor untuk masker, produk antiseptik serta bahan baku pembuatannya, dan alat pelindung diri seperti pakaian bedah dan pakaian pelindung medis hingga 30 Juni 2020. Bagi masyarakat dan pelaku usaha yang dengan sengaja melakukan penimbunan barang atau masih tetap melakukan kegiatan ekspor, dapat dijerat dengan Pasal 107 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal tersebut menyatakan bahwa mereka yang menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, dapat diancam dengan hukuman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal 50 miliar Rupiah.
Selain itu ada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang juga dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang sengaja menimbun barang-barang kebutuhan pokok yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain hukuman pidana, ada pula ancaman hukuman administratif berupa penghentian kegiatan produksi hingga pencabutan izin.
Diberitakan oleh Kompas.com terkait dana 405,1 triliun Rupiah yang digelontorkan pemerintah untuk penanganan wabah Covid-19, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi secara ketat pengadaan barang dan jasa terkait penanggulangan virus Corona ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa ada ancaman hingga hukuman mati bagi oknum yang nekat mengorupsi dana tersebut. Ancaman hukuman tersebut tertuang dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah waktu negara dalam keadaan bahaya, terjadinya bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Banyak hal yang bisa lakukan untuk membantu pemerintah dalam menghadapi penyebaran wabah Covid-19 ini. Selain melakukan isolasi mandiri di rumah, kita juga bisa berdonasi dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Jika kita memiliki persediaan alat-alat kesehatan yang dibutuhkan oleh para tenaga medis, alangkah baiknya jika kita menyumbangkan atau menjualnya dengan harga wajar. Terakhir, mari bersama-sama kita awasi aliran dan penggunaan anggaran sebesar 405,1 triliun Rupiah tersebut agar tepat sasaran dan tidak dinikmati oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. (DL/DSS)