Seri ISO ke-33: Tata Urutan Perundang-Undangan dalam Implementasi ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan dan ISO 37301:2021 Sistem Manajemen Kepatuhan

Kodifikasi hukum yang merupakan konsekuensi dari sebuah negara yang menganut Civil Law mensyaratkan Indonesia untuk memiliki prosedur dalam proses pembuatan perundang-undangan. Hans Kelsen dalam teorinya menjelaskan bahwa terdapat 2 (dua) golongan norma dalam hukum, yakni norma yang bersifat inferior dan norma yang bersifat superior. Terkait kedua norma tersebut, validitas dari norma yang lebih rendah dapat diuji terhadap norma yang secara hierarki berada di atasnya.   

Pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 (“UU 12/2011”) sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Pertama dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menerangkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Tata urutan peraturan perundang-undangan (“PUU”) diperlukan karena memiliki beberapa tujuan dan manfaat yang penting dalam sistem hukum suatu negara. Berikut adalah beberapa alasan mengapa tata urutan PUU diperlukan:

Gambar 1. Tujuan dan Manfaat Tata Urutan Perundang-Undangan bagi Sistem Hukum Negara (disarikan dari teori hukum murni Hans Kelsen, Konsep Trias Politica John Locke dan Montesquieu, dan Teori fungsionalisme hukum Roscoe Pound)

Untuk mewujudkan suatu organisasi dengan tata kelola yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dibutuhkan penataan mekanisme pembentukan peraturan internal organisasi sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pemberlakuan. 

Berkelindan dengan klausul 7.5.2 Pengendalian Informasi Terdokumentasi SNI ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) dan ISO 37301:2021 Sistem Manajemen Kepatuhan (SMK), yang menyatakan bahwa, setiap organisasi ketika membuat dan memperbarui informasi terdokumentasi harus memastikan kesesuaian:

  1. Identifikasi dan deskripsi (misal judul, tanggal, penulis, atau nomor referensi);
  2. Format (misal bahasa, versi piranti lunak, grafik) dan media (kertas, elektronik);
  3. Tinjauan dan persetujuan untuk kesesuaian dan kecukupan.

Klausul tersebut menunjukkan bahwa organisasi perlu memastikan adanya informasi kepatuhan organisasi seperti, bagaimana cara membuat dokumen, bagaimana prosedur pengelolaan informasi, siapa yang berkewajiban menyimpan dan dapat mengakses, sampai dengan bagaimana prosedur permintaan/pemenuhan dokumen oleh pihak-pihak yang memerlukan, hingga prosedur retensi dokumen.

Mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 organisasi dapat mengadopsi dalam menyusun hierarki peraturan internal organisasi untuk menciptakan keteraturan. Sehingga peraturan yang memiliki tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang memiliki tingkatan lebih tinggi. Berikut ilustrasi hierarki peraturan dalam sebuah organisasi:

Gambar 2. Contoh Hierarki Peraturan Internal di Organisasi

Pengaturan hierarki peraturan di dalam organisasi/perusahaan diharapkan dapat memberikan panduan dasar bagi organisasi dalam mengelola kegiatan operasi dan administrasi organisasi, termasuk dalam mengelola kebijakan organisasi yang berkaitan dengan struktur dan infrastruktur regulasi. Selain itu, hierarki peraturan dapat memetakan sistem informasi manajemen serta pembagian peran antar fungsi untuk memastikan pengelolaan kegiatan organisasi dijalankan secara optimal dan terhindar dari benturan kepentingan (conflict of interest), serta mekanisme check and balances antar organ di dalam organisasi.

Lex specialis derogat legi generali, Lex superior derogat legi inferior. Aturan khusus maupun berkedudukan lebih tinggi lebih diutamakan daripada aturan yang umum dan berkedudukan lebih rendah. (FES/DSS)

#Regulasi #HierarkiPerundang-Undangan #TataKelola #Kepatuhan #ISO37001 #ISO37301 #Kepatuhan #KebijakanPerusahaan #UU12/2011 #UU15/2019 #UU13/2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Translate »
Open chat
Halo SustaIN!

Mohon info terkait jasa apa saja yang ditawarkan SustaIN?