Istilah “korupsi” selalu menjadi musuh, lawan, dan sumber kehancuran baik untuk Indonesia maupun dunia. Korupsi mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi negara yang akan menjadi efek domino berbagai aspek kehidupan, seperti kemiskinan, tingginya angka pengangguran, sampai dengan kesehatan masyarakat yang tidak terpenuhi dengan baik. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio yang memiliki arti kebusukan, keburukan, kebejatan, dan ketidakjujuran. Pada hakikatnya, korupsi merupakan titik awal dari tidak tercapainya kesejahteraan, kemakmuran, serta kebahagiaan setiap insan di sebuah bangsa.
Korupsi dilarang oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengelompokkan jenis korupsi menjadi 7, yaitu kerugian keuangan negara, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, gratifikasi, suap menyuap, dan benturan kepentingan dalam pengadaan. Tidak hanya di Indonesia, berbagai negara di dunia juga memiliki hukum positif terkait pemberantasan korupsi guna meminimalisir potensi korupsi di berbagai sektor. Sebagai acuan dasar untuk mencegah dan membasmi korupsi di berbagai negara, pada tahun 2003, terbentuklah United Nations Convention against Corruption (UNCAC) sebagai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai anti korupsi yang diakui sebagai instrumen hukum internasional.
Berdasarkan survei Transparency International Corruption Perception Index (CPI) Indonesia tahun 2021 meningkat 1 poin, dengan skor dari 37 menjadi 38. Meskipun terjadi peningkatan 1 poin, skor CPI Indonesia (SustaIN, 2022) masih berada di bawah rata-rata skor CPI Global, yaitu 43 dan Indonesia menempati peringkat 96 dari 180 negara yang disurvei. Artinya kondisi korupsi di Indonesia masih dipersepsikan buruk.
Terlepas dari semua itu, sejarah dan budaya integritas, menjadi sebuah proses dan kebiasaan yang melekat pada setiap insan masyarakat. Berbagai peristiwa terdahulu yang menjadi sejarah dapat digunakan sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Ruang lingkup sejarah tidak dibatasi tempat dan waktu, sehingga cakupannya tidak hanya terbatas di dalam negeri. Refleksi historis di Indonesia maupun kondisi di negara lain seperti contoh di bawah ini dapat menjadi acuan dan pembelajaran bagi Indonesia untuk mengeliminasi perangai yang mengarah pada korupsi, dan mengadopsi budaya yang dapat dijadikan cerminan untuk Indonesia dalam memberantas korupsi:
- VOC (Verenigde Ootsindische Compagnie)
Pada tahun 1602, VOC yang merupakan kongsi dagang Hindia Timur yang datang ke Indonesia untuk mengendalikan perdagangan dan kekuasaan politik serta militer di wilayah Nusantara. VOC berhasil menguasai Indonesia sebagai negara jajahannya sampai tahun 1800. Setelah berdiri hampir 198 tahun, VOC hancur yang disebabkan oleh korupsi dan pemborosan anggaran.
Perdagangan pribadi atau perdagangan gelap merupakan salah satu bentuk korupsi pejabat VOC. Korupsi sebagai penyebab keruntuhan membuat VOC diplesetkan menjadi Vegaan Onder Corruptie (Runtuh Lantaran Korupsi) (Historia, 2021). Praktik korupsi yang dilakukan diantaranya, Gubernur VOC yang melakukan perdagangan gelap untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri sendiri, Pejabat VOC melakukan tindak pemerasan dengan memaksa rakyat menyerahkan hasil bumi lebih daripada ketentuan yang berlaku, memaksa penduduk untuk menyerahkan upeti, memotong kas atau anggaran yang seharusnya disetorkan untuk VOC, dan melakukan gratifikasi dengan menerima hadiah dari para bangsawan pribumi.
Dampak yang diperoleh dari tindakan korupsi para pejabat VOC adalah gaji pegawai VOC yang sangat rendah dan memiliki selisih besar dengan gubernur jenderal, misalnya seorang juru tulis bergaji bulanan 16-24 gulden dan gubernur jenderal bergaji 600-700 gulden (Historia, 2021). Selain itu VOC runtuh dan bangkrut dengan kerugian hutang sebesar 136,7 juta Gulden atau setara dengan 1,1 triliun rupiah.
- Somalia
Somalia adalah negara peringkat ke-3 sebagai negara dengan korupsi terbesar di dunia berdasarkan data dari Transparency International (TI) tahun 2021. Somalia sendiri telah menempati peringkat terbawah dari Indeks Persepsi Korupsi TI sepanjang 2006-2021.
Korupsi yang terjadi di Somalia terjadi di semua sektor baik di sektor publik maupun swasta. Dalam sektor pengadaan publik, mayoritas tender publik dilakukan secara rahasia, di mana pejabat menutup kesepakatan pengadaan publik tanpa transparansi dan pengawasan. Sedangkan, pada sektor perundang-undangan, konstitusi Somalia telah mengkriminalisasi beberapa bentuk korupsi (penyalahgunaan jabatan, penggelapan, dan penyuapan) namun implementasinya pejabat pemerintah yang korup menoleransi kegiatan-kegiatan illegal dengan imbalan suap (GAN Integrity, 2020).
Dampak korupsi di Somalia berimbas pada kemiskinan yang terus menerus melanda masyarakat Somalia. Pada tahun 2017, sebanyak 4,9 juta orang dari total penduduk 10 juta orang mengalami kemiskinan. Dengan tingginya angka korupsi somalia, tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi rendah.
- Zimbabwe
Zimbabwe menduduki peringkat 157 dengan skor CPI 23 (Transparency International, 2022). Penyebab utama korupsi di negara tersebut adalah karena penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat terhadap sarana dan fasilitas tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Pemerintahan di Zimbabwe dicirikan sebagai pemerintahan yang menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan politik untuk melindungi orang-orang yang berkuasa, dimana UU Antikorupsi digunakan secara selektif untuk melawan oposisi politik (Report on Cartel Power Dynamics in Zimbabwe, 2021). Risiko korupsi tertinggi di Zimbabwe adalah pada sektor pajak. Suap sehubungan dengan pembayaran pajak tahunan sering terjadi. Lebih dari 40 (empat puluh) persen masyarakat Zimbabwe percaya bahwa pejabat pajak melakukan korupsi karena kurangnya transparansi dalam sistem pajak. Dalam hal ini, sistem pembayaran pajak sangat lambat, dimana untuk mempersiapkan, mengajukan, sampai membayar pajak di Zimbabwe membutuhkan waktu 242 jam per tahun (Risk & Compliance Portal, 2020).
Dampak korupsi di Zimbabwe yang paling utama dirasakan adalah masyarakat sangat sulit mencapai kesejahteraan akibat kemiskinan, pendapatan yang tergerus, kerawanan pangan, kelangkaan bahan bakar dan air, serta wabah Covid-19.
Sistem manajemen yang baik merupakan salah satu upaya yang dapat mencegah terjadinya korupsi di pemerintahan maupun organisasi. Transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik yang minim dapat menimbulkan risiko oknum pelayan publik atau pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan korupsi. Dampaknya, masyarakat menjadi terhambat untuk mendapatkan pelayanan publik yang merupakan hak mereka, misalnya pendidikan dan kesehatan yang layak. Dampak yang dirasakan cukup signifikan, dimana ketika korupsi dilakukan, kemerosotan kualitas, efektivitas, serta efisiensi sebuah sistem pun akan terjadi.
Apa sajakah yang perlu dilakukan untuk mencegah dan memerangi korupsi? Selain penanaman nilai integritas dan meningkatkan kepedulian di organisasi pemerintah/publik maupun swasta, perlu berkontribusi untuk melawan korupsi, salah satunya melalui penerapan SNI ISO 37001:2016 Sistem Manajemen Anti-Penyuapan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap organisasi mengetahui sasaran yang harus dicapai mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi kinerja, dan peningkatan berkelanjutan (Plan, Do, Check, Act-PDCA). Jika dikaitkan dengan beberapa masalah di atas, suap dalam pelayanan publik masih rentan terjadi. ISO 37001:2016 mensyaratkan mengenai Penilaian Risiko Penyuapan, dimana setiap organisasi harus: (a) mengidentifikasi risiko (isu internal dan eksternal dari organisasi itu sendiri); (b) menganalisa, menilai, dan memprioritaskan risiko penyuapan yang teridentifikasi; serta (c) mengevaluasi kesesuaian dan keefektifan dari kendali yang sudah ada untuk mengurangi risiko penyuapan organisasi. Dari penilaian risiko yang telah dilakukan, monitoring dan evaluasi secara berkala juga menjadi salah satu tindak lanjut perbaikan dari implementasi mitigasi risiko yang telah dilakukan tersebut. Sebagai generasi yang berintegritas, mari bebaskan Indonesia dari belenggu korupsi. Lets stand for integrity, anti-corruption, and professionalism! (DSS/FES/WA/NF)
Anti-CorruptionDay #HariAntiKorupsiSedunia2022 #Integritas #LawanKorupsi