Pesta demokrasi 2019 harusnya memberikan harapan baru bagi rakyat Indonesia. Harapan akan kesejahteraan yang terjamin, keadilan yang dijunjung tinggi dan sembuhnya luka atas pengkhianatan amanah oleh orang yang mengaku mewakili rakyat. Korupsi adalah luka terdalam dan sakit hati terbesar rakyat Indonesia. Satu problematika bangsa yang disepakati sebagai Extra Ordinary Crime sehingga harus dicabut hingga ke akar-akarnya.
Menyadari pentingnya pencegahan praktik tindak pidana korupsi oleh wakil rakyat (pejabat legislatif) dan menjamin integritas bakal calon legislatif (bacaleg) 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU No. 20/2018) yang melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak untuk mendaftarkan diri dalam kontestasi Pemilihan Legislatif 2019 (Pileg). Peraturan ini mengharuskan partai politik yang mengusung bakal calon DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota menyepakati dan menandatangani pakta integritas dimana salah satu ketentuannya memuat kewajiban partai politik untuk menjamin bakal calon yang diajukan kepada KPU, KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Aceh Kabupaten/Kota bukan merupakan mantan terpidana korupsi.
Meski telah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 3 Juli 2018, PKPU No. 20/2018 masih mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang kontra dengan peraturan ini berdalih bahwa larangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam Pileg 2019 bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf (g) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dimana pasal ini mengatur bahwa bacaleg harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh putusan kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan merupakan mantan terpidana. Dengan kata lain, ketentuan ini memperbolehkan mantan narapidana untuk mendaftarkan diri sebagai bacaleg apabila mengumumkan hal tersebut kepada publik. Selain itu, PKPU ini juga dianggap melanggar hak berpolitik untuk dipilih dan memilih yang termuat dalam UUD 1945.
Hingga kini telah masuk 6 berkas permohonan uji materi PKPU No. 20/2018 atas UU Pemilu di kepaniteraan Mahkamah Agung, dengan 2 pihak diantaranya merupakan mantan narapidana korupsi. Meski demikian berkas pengajuan uji materil tersebut belum dapat disidangkan mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) belum memutuskan uji materi Pasal 222 dalam UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Hal ini, karena objek uji materinya merupakan Undang-Undang yang sama (Kompas)
Tidak terganggu oleh pengajuan uji materil PKPU No. 20/2018 tersebut, proses pendaftaran Pileg 2019 terus berjalan. Pada 25 Juli 2018 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengumumkan temuan atas 192 bacaleg DPRD Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota yang merupakan mantan narapidana korupsi dengan persebaran 26 bacaleg DPRD di 9 Provinsi, 146 bacaleg DPRD di 92 Kabupaten dan 20 bacaleg DPRD di 11 kota (Bawaslu). KPU sendiri akan memproses hal ini berdasarkan peraturan yang ada yakni dengan mengembalikan berkas kepada Parta Politik pengusung bacaleg yang terdeteksi sebagai mantan terpidana korupsi (Tempo).
Sejatinya, langkah yang diambil oleh KPU dengan mengatur larangan pencalonan bacaleg mantan narapidana korupsi dan memberikan dorongan kepada partai politik untuk menyeleksi bacaleg yang diusung berdasarkan PKPU No.20/2018 menunjukkan keseriusan yang nyata akan komitmen upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, terutama dalam proses berdemokrasi.
(NH/DSS)