Artidjo Alkostar adalah seorang mantan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada tahun 2000-2018. Artidjo lahir pada tanggal 22 Mei 1948 di Situbondo, Jawa Timur. Artidjo Alkostar memulai pendidikan hukum di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Artidjo kemudian melanjutkan pendidikan pascasarjana dengan mengambil Master of Laws di Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat pada tahun 2002. Pada tahun 2007, Artidjo memperoleh Gelar doktoralnya di bidang Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro di Semarang.
Artidjo memulai karirnya di bidang hukum sejak tahun 1976. Berbagai profesi pernah ia geluti, mulai dari dosen, pengacara, Direktur Lembaga Bantuan Hukum di Yogyakarta, Pada 1989, Ia juga pernah bertugas di New York, Amerika Serikat, sebagai pengacara Hak Asasi Manusia untuk Human Right Watch Divisi Asia selama 2 tahun. Kemudian menjabat sebagai Hakim Agung pada tahun 2000-2018 dan Ketua Kamar Pidana MA RI (2014-2018). Pada tahun 2019-2021, Ia menjabat sebagai Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Artidjo dikenal sebagai sosok yang tekun, berintegritas, ikhlas, jujur dan tegas dalam bekerja pada dunia penegakan hukum di Indonesia. Salah satu sikap berintegritasnya, selama menjabat sebagai Hakim Agung, Artidjo menolak segala bentuk suap. Menariknya, di depan pintu ruangannya bahkan terdapat tulisan “tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara”.. Hal ini salah satu wujud ketegasannya untuk menolak “negosiasi” perkara apapun.
Dedikasi dan integritas Artidjo Alkostar dalam penegakan hukum tidak perlu diragukan. Selama menjabat sebagai Hakim Agung, Artidjo tak pernah mengambil cuti karena menurutnya akan sangat berimplikasi besar terhadap tugas-tugasnya sebagai Hakim. Artidjo tercatat telah menangani 19.709 berkas perkara. Adapun untuk perkara korupsi telah diadilinya sejumlah 842 perkara, yang mana tidak sedikit koruptor hukumannya diperberat oleh Artidjo, seperti:
Pada tahun 1999-2000, Terdakwa (DT), yaitu Direktur PT EGP terjerat kasus korupsi atas pengalihan tagihan piutang Bank Bali dan Bank Umum Nasional sebesar Rp 789 miliar. Dari pengalihan piutang ini, DT memperoleh keuntungan sebesar Rp 546 miliar. Namun, pada tahun 2000, DT divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena perbuatannya tidak memenuhi unsur pidana. Pada tahun 2001, Artidjo Alkostar menjadi salah satu Hakim yang menangani kasus korupsi tersebut. Melalui sidang Peninjauan Kembali, Artidjo Alkostar memberikan dissenting opinion karena berbeda pendapat dengan 2 (dua) Hakim lainnya, yang saat itu memberikan vonis bebas kepada DT. Menurut beliau, DT sudah memenuhi unsur merugikan negara sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), sehingga hukuman yang pantas diberikan kepada DT adalah 20 (dua puluh) tahun penjara dan denda sebesar Rp 30 miliar serta pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 546 miliar. Meskipun saat itu DT divonis bebas, dissenting opinion dari Artidjo Alkostar tetap dimasukan di dalam putusan (sebagaimana yang juga diatur di dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Setelah 11 tahun menjadi buron, pada tahun 2021, Mahkamah Agung memberi vonis kepada DT dengan sanksi penjara selama 4,5 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara.
- Memperberat Hukuman AS yang Menerima Suap dalam Pengurusan Anggaran Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Pemuda Olahraga
Pada Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1616 K/Pid.Sus/2013, AS, mantan anggota Komisi X DPR RI terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dengan menerima suap sebesar Rp2,5 miliar dan USD1,2 juta dari Grup PM sebagai imbalan atas penggiringan anggaran proyek Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional P3SON).
Dalam sidang putusan 10 Januari 2013 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan PN JAKARTA PUSAT 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST bahwa AS dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp250 juta subsider kurungan enam bulan. Kemudian AS mengajukan kasasi ke MA yang pada saat itu Artidjo Alkostar sebagai Ketua Majelis Hakim memperberat hukum AS dari 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 12 tahun penjara. Selain itu, denda yang sebelumnya Rp250juta dinaikkan menjadi Rp500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Artidjo juga menambahkan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp12,58 milliar dan USD 2,35 juta.
Alasan Artidjo memperberat hukuman AS adalah karena AS terbukti secara aktif melakukan upaya menggiring Anggaran Kemendiknas agar proyek-proyek sesuai dengan permintaan GP dan AS aktif memprakarsai pertemuan dengan para pihak pemberi suap, sehingga perbuatan AS telah memenuhi unsur-unsur Pasal 12A UU Tipikor.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat berbagai aspek yang dapat diteladani oleh seluruh generasi di Indonesia, yaitu:
- Konsistensi dalam menjaga integritas dan memegang teguh nilai-nilai keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, Artidjo Alkostar pernah hampir “menendang” kursi yang ditempati oleh seorang Pengusaha yang hendak menyuapnya.
- Tegas dalam menjalankan amanah dengan transparan. Artidjo Alkostar merasa bahwa dissenting opinion atas perkara yang ditangani adalah bentuk pertanggungjawabannya terhadap publik.
- Menjunjung tinggi asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas kemanfaatan secara berimbang atau proporsional dengan terlebih dahulu melihat unsur-unsur tindak pidana yang terjadi secara nyata (das sein) berdasarkan fakta-fakta hukum dan alat-alat bukti yang sah dalam dakwaan penuntut umum.
Atas dedikasi dan ketulusannya dalam menegakkan keadilan di Indonesia, Artidjo Alkostar menerima Bintang Mahaputera, yakni penghargaan dari negara yang diberikan oleh Presiden, kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas darmabakti dan kesetiaan mereka yang luar biasa kepada bangsa dan negara.
Artidjo Alkostar wafat di usianya yang ke 71 Tahun. Pada masa akhirnya Artidjo masih menjabat sebagai Dewan Pengawas KPK RI. Indonesia kehilangan sosok “Sang Algojo Koruptor”, penegak hukum yang sangat berintegritas. Keteguhannya dalam menegakkan hukum secara adil, jujur dan berintegritas perlu diteladani oleh para penegak hukum lainnya, serta masyarakat luas.
“Judex debet judicare secundum allegata et probata” – seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan. (DA/FES/NF/WA/DSS)
#ArtidjoAlkostar #PejuangKeadilan #Inspirasi #HukumUntukNegeri #Hakim Agung #integritas, #Jujur #Anti Korupsi