Delapan dekade sudah berlalu sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sepanjang sejarahnya, bangsa ini telah melewati berbagai dinamika kondisi sejarah dimulai dari perjuangan kemerdekaan, pembangunan ekonomi, kondisi politik, krisis ekonomi, reformasi, hingga era digital. Tahun 2025, tema resmi HUT ke-80 RI adalah “Bersatu, Berdaulat, untuk Indonesia Maju”. Tema ini menjadi pengingat persatuan dan kedaulatan harus diwujudkan tidak hanya dalam simbol, tetapi juga melalui kebijakan yang inklusif, transparan, dan berpihak kepada seluruh rakyat. Berdasarkan pembukaan UUD 1945 “Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia”. Kemerdekaan bagi sebagian orang mungkin berarti merdeka secara politik, namun bagi jutaan penduduk Indonesia di pelosok negeri, kemerdekaan juga berarti kesempatan yang sama untuk hidup layak, mengakses pendidikan, mendapatkan layanan kesehatan, dan bebas dari rasa takut akibat ketidakadilan. Namun pertanyaan yang perlu kita renungkan: sudahkah kemerdekaan itu benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia?
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 menyatakan tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 8,47%, (±23,85 juta orang) lebih rendah dari September 2024 yang sebesar 8,57% (24,06 juta orang). Di pedesaan, angka kemiskinan masih tinggi yaitu mencapai 11,03%, jauh lebih tinggi dibanding di perkotaan yaitu mencapai 6,73%. Papua Pegunungan tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem yakni 30,03%. Dibandingkan satu dekade lalu, angka nasional turun dari 11,22% pada 2015, namun penurunan ini tidak merata. Wilayah dengan infrastruktur terbatas dan alokasi terpencil masih menghadapi tantangan berat, meski pemerintah sejak 2022 hingga saat ini 2025 telah menjalankan program percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem.
Dalam hal pemerataan pendapatan, Gini Ratio Indonesia pada 2024 berada pada angka 0,375, menunjukkan ketimpangan yang masih menjadi tantangan pembangunan nasional. Sedangkan dalam hal tata kelola, skor Indonesia pada Corruption Perceptions Index (CPI) Tahun 2024 yang dirilis oleh Transparency International masih berada pada angka 37 dari 100 berada di peringkat 99 dari 180 negara (*dapat melihat juga artikel SustaIN yang berjudul: Naik 3, Skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia tahun 2024 masih tetap buruk). Skor ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap integritas di sektor publik belum menunjukkan perbaikan. KPK dalam siaran pers Februari 2025 menyatakan bahwa perbaikan CPI membutuhkan penguatan integritas di seluruh lini pemerintah, mulai dari transparansi anggaran, reformasi birokrasi, hingga pengawasan publik yang efektif.
Kondisi akses terhadap layanan dasar juga menjadi tantangan serius dalam mewujudkan kemerdekaan. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan per Maret 2025, masih ada 28 juta penduduk Indonesia kesulitan mendapatkan air bersih dari total jumlah penduduk Indonesia yaitu 284.438,8 ribu jiwa per Juni 2025. Keterbatasan ini berdampak langsung pada kualitas kesehatan masyarakat. World Health Organization (WHO) mencatat bahwa kekurangan akses air bersih dapat meningkatkan risiko penyakit seperti diare dan stunting, hal ini akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Selain infrastruktur dasar seperti air bersih, pendidikan menjadi faktor kunci yang menentukan kualitas kemerdekaan suatu bangsa
Dalam sektor pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) yang merupakan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan untuk pendidikan tinggi pada usia 19-23 tahun tercatat sekitar 32% per Desember 2024, jauh tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (43%), Thailand (49%), dan Singapura (91%). Keterbatasan akses pendidikan tinggi bukan hanya persoalan jumlah perguruan tinggi, tetapi juga faktor biaya, infrastruktur, dan pemerataan kualitas pengajar.
Berdasarkan uraian diatas, masih banyak tantangan yang dihadapi agar masyarakat Indonesia sejahtera seperti dari aspek belum meratanya pendapatan, kemiskinan, korupsi, kurang layaknya layanan dasar, fasilitas dan infrastruktur yang memadai serta keterbatasan akses pendidikan. Delapan puluh tahun merdeka seharusnya menjadi momentum refleksi bahwa kemerdekaan adalah proses, bukan sekedar perayaan dengan kembang api atau acara seremonial saja. Pemerintah yang diberikan amanah dari masyarakat Indonesia perlu segera membenahi dan memastikan pelaksanaan kebijakan yang benar-benar berdampak terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat. Refleksi ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga panggilan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut serta terlibat dalam perubahan positif, mulai dari lingkup komunitas terkecil hingga ruang kebijakan nasional. Dirgahayu Republik Indonesia !. (LZP/DSS)
#HUT80RI #KemerdekaanRI #IndonesiaMerdeka #SurveiSosialEkonomiNasional #GiniRatio #AngkaPartisipasiKasar #AirBersih #IndeksPersepsiKorupsi #PemerataanPendapatan